Arahan Prabowo untuk Mengikis Budaya Seremonial Feodal

JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto telah memberikan instruksi untuk menghentikan pengerahan siswa sekolah dalam menyambut kunjungan kerjanya di daerah. Arahan ini, yang disampaikan saat meresmikan Jembatan Kabanaran di Bantul, Yogyakarta, pada Rabu (19/11/2025), dianggap sebagai langkah positif untuk mengikis tradisi seremonial yang berbau feodal yang selama ini mengakar.

Alasan dan Isi Arahan Presiden

 

Prabowo meminta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya untuk segera menyurati semua Bupati dan Wali Kota agar tidak lagi memobilisasi anak sekolah menyambutnya di pinggir jalan.

  • Rasa Kasihan: Prabowo mengaku merasa kasihan melihat siswa harus berdiri lama dan berpanas-panasan, padahal iring-iringan presiden kerap melaju cepat.

  • Mengganggu Kegiatan Belajar: Ia khawatir seremonial tersebut mengurangi waktu jam belajar siswa di sekolah.

  • Saran Alternatif: Prabowo menyarankan agar siswa tetap berada di sekolah masing-masing dan lebih baik melihat agenda kunjungan melalui televisi. Ia juga menyatakan lebih suka jika dirinya yang mengunjungi langsung sekolah-sekolah.


Implikasi Terhadap Budaya Seremonial yang Mengakar

 

Instruksi Prabowo ini disambut baik oleh para pengamat karena menyentuh akar masalah kultur feodal yang sudah lama dilanggengkan di kalangan pejabat publik:

1. Mengikis Feodalisme

 

  • Analisis TII: Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, menilai mobilisasi siswa untuk menyambut pejabat merupakan kegiatan yang tidak relevan dan mencerminkan budaya feodalisme. Praktik ini mengondisikan masyarakat untuk tunduk dan patuh di hadapan pejabat, yang seharusnya menjadi pelayan publik.

  • Praktik Orde Baru: Budaya protokoler seremonial yang melibatkan siswa ini disebut sudah marak sejak era Orde Baru, menjadikan siswa sebagai korban kepentingan demi memeriahkan agenda kunjungan.

2. Efisiensi dan Prioritas Anggaran

 

  • Pemborosan Anggaran: Pakar komunikasi politik Unpad, Kunto Adi Wibowo, menyebut seremonial penyambutan pejabat sudah menjadi kelaziman sejak sebelum Orde Baru, namun menciptakan pemborosan anggaran yang luar biasa.

  • Fokus Kinerja: Adinda menekankan bahwa sumber daya yang terbuang untuk hal seremonial sebaiknya dialokasikan untuk program atau operasional yang lebih urgen dan penting.

3. Melawan Praktik Politik Konvensional

 

  • Sistem Lama: Analis sosio-politik Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, memandang praktik seremonial penyambutan pemimpin sudah setua sistem pemerintahan itu sendiri. Di era modern, praktik psikologisnya masih sama, yakni memberikan kesan megah dan kemewahan pada pemimpin.

  • Langkah Out of the Box: Musfi menilai Prabowo sedang berupaya keluar dari praktik yang sudah dirawat selama ratusan tahun, meskipun berpotensi menimbulkan resistensi dari pejabat lain yang terbiasa disambut meriah.

Tantangan Menghapus Budaya Seremonial Lain

 

Meskipun arahan terkait siswa patut diapresiasi, para pengamat menyoroti seremonial lain yang juga perlu dikikis:

  • Aksi Sidak (Inspeksi Mendadak): Sering digunakan sebagai instrumen populis untuk memoles citra di depan kamera, bukan untuk menunjukkan kinerja nyata.

  • Pemasangan Baliho: Formalitas pemasangan baliho berisi foto dan ucapan untuk pejabat negara.

  • Gimik Komunikasi: Kegiatan yang menjadi gimmick di ruang publik, seperti blusukan yang berlebihan atau pamer uang sitaan oleh aparat, yang seakan menggantikan laporan resmi pekerjaan.

Musfi Romdoni menekankan bahwa untuk menghapus semua bentuk seremonial yang boros, Prabowo mesti lebih tegas dari sekadar ujaran, mengingat seluruh kegiatan protokoler seremonial saat ini sudah dilegalkan dalam aturan anggaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *