JAKARTA – Wacana penarikan royalti musik kepada musisi dan pencipta lagu dangdut, yang menyasar kegiatan non-komersial seperti pesta rakyat, hajatan, atau acara warga lainnya, telah memicu perdebatan sengit. Usulan ini dicetuskan oleh Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI) saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Kamis (20/11/2025).
Usulan dan Argumen PAMDI
Sekretaris Jenderal PAMDI, Waskito, mengusulkan agar pembayaran royalti juga berlaku untuk panggung hiburan rakyat yang bersifat non-komersial, termasuk hajatan.
Alasan: Pangsa pasar terbesar musik dangdut berada di lingkungan masyarakat kelas bawah dan pedesaan, yang selama ini belum tersentuh mekanisme pengelolaan royalti karena kegiatan mereka non-komersial.
Tujuan: Untuk memastikan musisi dangdut mendapatkan penghargaan ekonomi yang layak, mengingat musik dangdut jarang dimainkan di tempat komersial berbayar (seperti restoran/hotel) yang sudah diwajibkan membayar royalti.
Solusi UU Hak Cipta: PAMDI mengusulkan penambahan pengaturan dalam ketentuan umum Pasal 1 UU Hak Cipta mengenai penggunaan karya non-komersial yang aturannya masih belum jelas.
Pandangan Penikmat dan Pelaku Acara Musik
Wacana ini mendapat resistensi dari masyarakat dan pelaku acara musik kecil:
Pandangan Masyarakat: Nur alias Ompong (pemilik grup organ tunggal di Bogor) dan Wafi (penikmat dangdut dari Depok) merasa usulan ini terlalu mengada-ada dan mempersulit masyarakat yang mencari hiburan murah dan mudah diakses. Mereka khawatir musik dangdut, yang dikenal merakyat dan menjadi santapan wajib di kampung, akan kehilangan eksistensinya sebagai hiburan murah jika harus dibebani royalti.
Fungsi Promosi: Ompong menyebut biaya menyewa organ tunggal untuk hajatan relatif murah (tidak sampai Rp3 juta), dan membebaninya dengan royalti akan memberatkan penyelenggara acara.
Analisis dan Kritik Pengamat Hukum & Musik
Para pakar menilai usulan PAMDI berisiko menjadi bumerang:
| Pihak | Pandangan / Kritik |
| Dzulfikri P. Malawi (Penulis Isu Musik) | Aturan royalti (PP No. 56/2021) jelas menyasar aktivitas komersial (restoran, kafe, konser, dsb.). Acara pernikahan atau hajatan bukan kegiatan komersial dan justru berfungsi sebagai sarana promosi yang mendekatkan lagu dangdut ke masyarakat. |
| Irfan R. Darajat (Pengamat Musik Dangdut UGM) | Gagasan PAMDI janggal dan paradoks karena menyasar basis dukungan terbesar ekosistem dangdut (hajatan, pesta rakyat). Menarik pungutan dari masyarakat bawah berisiko membuat artis dangdut “memangsa” pendengar setia mereka sendiri. |
| Irfan R. Darajat (Lanjutan) | Seharusnya, fokus diskusi royalti diarahkan ke ekosistem digital (misalnya platform streaming seperti Spotify dan YouTube) serta negosiasi dengan korporasi besar, bukan membebani acara non-komersial. |
Tuntutan Lain dari PAMDI
Selain isu non-komersial, PAMDI juga menyampaikan usulan lain terkait perbaikan sistem royalti:
Batas Waktu Pembayaran: Pembayaran royalti untuk pertunjukan atau konser maksimal disetorkan tiga hari setelah acara digelar, untuk mengatasi kelalaian yang menghambat penyaluran hak ekonomi kepada pencipta.
Penurunan Pajak Royalti: Mengusulkan penurunan tarif pajak royalti musik dari 15% karena dianggap terlalu tinggi dan tidak merefleksikan karakter karya intelektual.

